Virlin benar-benar jenuh dengan pikirannya. Ia heran, mengapa tidak bisa menyetir hati dan pikirannya sendiri. Bingung. Ia pun akhirnya menuju meja belajarnya dan mencari note yang sudah lama tidak ia sentuh, membukanya, dan mulai menulis ..
"Entah sudah keberapa kalinya aku dalam keadaan yang seperti ini. Sakit. Pikiran seolah meledek. Disaat sesuatu yang sangat tidak ingin dipikirkan, tapi malah muncul dengan seenaknya. Aku lagi UAS loh. Dengan keadaan aku yang seperti ini sekarang, aku ngga ngerti bagaimana hasilnya nanti. Meskipun sedang bergulat dengan kesibukan, tapi pasti saja sempat terpikir olehku, ‘pikiran haram’ itu. Ya, mungkin lebih tepatnya aku menyebutnya seperti itu. Biar terasa jeleknya. Pikiran yang benar-benar tidak boleh dipikirkan. Haram. Dosa. Wajb dihindarkan.
Benar-benar tidak percaya dengan ini semua. Hubungan yang terjalin selama 18 bulan, berakhir dengan cara seperti ini. Aku merasa sendiri. Merasa tertipu. Bukan. Bukan maksudku aku berharap dia menahanku lagi. Yang kumaksud disini adalah dia bersikap seperti tidak ada apa-apa yang terjadi. Sampai detik ini pun, aku belum mendengar kembali suaranya atau hanya sekedar membaca pesan singkat yang nadanya bersahabat- tidak marah maksudku. Kau tahu kan bagaimana aku setelah kejadian ini? Seperti tidak tahu arah. Menangis sepanjang malam. Apa yang dirasakan dia? Sepertinya tidak ada. Mungkin dia sedang bercengkerama dengan organisasinya yang disebutnya KELUARGA. Mungkin dia sedang tertawa membayangkan aku yang cengeng ini sedang menangis meraung-raung. Lantas, boleh kan aku beranggapan aku tertipu selama ini? Dengan kata-kata manisnya, dengan janjinya, dengan komitmennya, kini benar-benar sudah tak berarti untukku. Omong kosong. Aku heran, kenapa aku bisa sebodoh itu dan baru tersadar setelah 18 bulan lamanya.
Banyak orang yang mungkin heran dengan sikapku yang terlalu berlebihan. Tapi, pernahkah kau merasakan sepertiku, hei? Perasaan orang tidak bisa ada yang disamakan, menurutku. Berbeda. Mungkin orang akan berkata, ‘Aku juga pernah ko seperti kamu, tapi tidak begitu sikapku.’ Lalu aku akan mendebatnya dalam hati, tahukah kamu apa yang kurasakan? Memangnya kamu bisa melihat isi pikiranku? Isi hatiku? Memangnya kamu yang dulu pernah berpacaran dengannya? Memangnya kamu melewati segalanya dengan dia dulu? Memangnya kamu yang pernah setiap hari selalu memikirkannya? Memangnya dan memangnya .. Tidak akan ada habisnya pertanyaanku. Ya, menurutku, walaupun ceritanya sama, tapi perasaan hati setiap orang adalah berbeda. Dan tingkat kemampuan untuk mengendalikannya pun berbeda. Mungkin aku di level terendah. Oh, kasihan sekali.
Sebenarnya apa yang sedang aku rasakan? Aku. Aku kecewa. Aku kecewa sekali. Perasaan yang dulu, harus kulawan dengan kebencian yang ada sekarang. Berteori memang mudah. Bertahan dengan rasa sesak.
Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang? Entahlah."
Virlin menutup buku, mengusap air mata, dan terdiam.
entahlah ..
Diposting oleh
p.j.l
|
/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar